Ayahku Gila Karena Guna-Guna
MyMisteri Leony Li - Rezeki, maut, dan jodoh memang bukan kehendak kita. Itu adalah rahasia Tuhan. Kita sebagai insan di dunia ini hanya menjalani apa yang telah menjadi kehendakNya. Sebagai insan beragama, aku yakin akan hal itu.
Tetapi sebagai manusia biasa kecemasanku kiranya adalah suatu hal yang sangat wajar. Begitulah yang terjadi pada diriku saat itu. Perasaan cemas dan gundah selalu membayangi hari-hariku, karena sampai saat usiaku menginjak 35 tahun, aku belum juga menikah.
Namaku sebut saja Mutiara. Kata ibu nama itu pemberian ayahku. Beliau berharap agak kelak hidupku selalu bersinar seperti mutiara. Seperti ibu, aku pun memiliki wajah yang cantik.
Dengan postur setinggi 170 cm, tubuhku langsing dan berkulit putih mulus. Kata orang, aku sangat pantas untuk menjadi seorang model. Meskipun ibuku seorang janda, tetapi kami hidup cukup mapan. Kami memiliki sebuah toko tekstil yang cukup besar di Pasar Bambu Kuning.
Kami juga memiliki rumah di Komplek Perum Puri Gading. Tak heran kalau keadaan kami itu sempat mengundang tuduhan miring orang-orang yang iri kepada kami. Bermacam-macam asumsi mereka lontarkan.
Ada yang mengatakan kalau ibuku yang cantik itu adalah seorang pelacur terselubung. Ada juga yang menuduh bahwa harta kekayaan yang kami peroleh selama ini adalah hasil pesugihan.
Tetapi selama ini kami tak pernah menghiraukan tudingan itu. Karena mereka tidak tahu bagaimana gigihnya ibuku berjuang membangun usaha dagangnya. Meskipun seorang perempuan, Ibuku selalu bekerja tak kenal lelah.
Ayahku? Entahlah! Karena kata Ibu, Ayah sudah meninggal sejak aku masih balita. Dan sepeninggalan Ayah, Ibu sama sekali tidak berniat untuk menikah lagi.
"Ibu cukup bahagia dengan apa yang telah diberikan Tuhan pada diriku selama ini. Untuk apa kawin lagi seandainya perkawinan itu akan membuat sengsara saja." Ibu selalu berkilah, setiap kali aku membujuk dirinya agar mencari pengganti ayah.
Ya, hidup kami memang sudah cukup. Tetapi seperti kata pepatah: "Tak ada gading yang tak retak." Di dunia ini memang tidak ada kehidupan yang sempurna.
Contohnya diriku. Meski hidup serba berkecukupan.
Berwajah cantik dan memiliki gelar sarjana, tetapi sejauh ini aku merasa tak ada lelaki yang mendekatiku. Aku memang banyak punya teman pria, tetapi hubungan dengan mereka cuma sebatas teman bergaul dan bisnis semata.
Aku sendiri merasa heran, mengapa belum ada lelaki yang datang melamarku. Padahal aku ini puteri tunggal yang merupakan tumpuan keluarga untuk melanjutkan keturunan.
Hal inilah yang senantiasa membuat dirikku selama ini diliputi perasaan cemas. Dan kecemasan ini tidak cuma kerusakan sendiri, tetapi keluargaku pun, terutama Ibuku, jelas sekali ikut prihatin. Mereka sering bertanya mengapa aku belum juga menikah.
Tentu saja pertanyaan ini membuat batinku tambah tertekan. Setiap mereka bertanya begitu, aku cuma bisa menjawabnya dengan senyum getir dan perasaan sedih. Karena aku sendiri tidak tahu apa sebabnya.
Sebagai seorang sarjana aku senantiasa berpikir positif. Bagiku yang namanya jodoh itu Tuhanlah yang menentukannya. Seorang gadis bisu tuli saja punya suami, masak aku seorang gadis normal sampai tidak ada yang mau?
Mungkin saja jodohku belum datang. Begitulah kalimat penghibur yang sering terlontar dari hatiku manakala kecemasanku sedang memuncak. Tetapi bagaimanapun aku tak sanggup membohongi perasaanku sendiri.
Sebagai gadis dewasa dorongan seksku sering muncul tak terkendalikan. Apalagi kalau melihat adegan seronok yang sering ditampilkan dalam buku dan bioskop layar lebar. Maka dambaanku akan seorang lawan jenis selalu datang menggebu-gebu. Kalau sudah begini biasanya cuma bantal guling jadi sasaranku.
Suatu hari aku nekad mendatangi seorang paranormal. Pada Pak Tohir, demikian nama paranormal itu, kuceritakan apa sebenarnya yang terjadi pada diriku saat itu. Oleh Pak Tohir aku diberi ramuan pemikat berupa bedak yang sudah diberi jampi-jampi.
Perbuatan ini diam-diam kulakukan karena aku tak mau sampai diketahui orang. Apalagi Ibu dan keluargaku yang terkenal fanatik. Ternyata, meskipun cuma sekali, kunjunganku ke tempat Pak Tohir tak sia-sia.
Aku nyaris tidak percaya, ketika sore itu Paman Wahab datang ke rumahku. Dia datang bersama seorang pemuda dan memperkenalkan padaku. Aku sempat melihat pemuda itu agak terbengong melihatku.
Dia baru sadar ketika Paman Wahab memperkenalkan diriku padanya. Pemuda itu bernama Hendro (bukan nama sebenarnya). Menurut cerita Pamanku, Hendro ini adalah putera tunggalnya Pak Handoko, seorang pengusaha yang cukup terkenal di kotaku.
Aku tak menyangka begitu cepatnya Hendro tertarik padaku. Hampir setiap akhir pekan dia selalu mengajak berkencan. Pucuk dicinta ulam tiba, tentus aja kehadiran Hendro membuat diriku saat itu merasa bahagia sekali. Terlebih keluargaku, mereka turut bahagia melihat hubunganku dengan Hendro yang tampan itu.
Tetapi, ternyata kebahagian yang kurasakan saat itu tak lebih dari sebuah fatamorgana belaka. Hubunganku dengan Hendro tak lebih dari seumur jagung. Entah kenapa tiba-tiba dia memutuskan hubungannya dengaku. Dia berasalan akan bekerja di Kalimantan.
"Aku memang menyukaimu, Tiara. Tetapi bagaimanapun aku harus memiliki masa depan yang pasti. Aku tidak mau terus menerus mengandalkan orang tuaku. Kebetulan seorang teman ayah menawarkan sebuah jabatan yang cukup penting di perusahaannya di Kalimantan. Kupikir sayang kalau peluang emas ini kulewatkan. Sekali lagi maafkanlah aku," kata Hendro malam itu.
Menghadapi kenyataan ini aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangis, dan menangis menyesali nasib. Sepeninggal Hendro, aku jadi seorang gadis pemurung. Tak ada lagi yang kulakukan selain berdoa dan berdoa pada Tuhan agar diberi petunjuk.
Kiranya Tuhan berkenan mendengar doaku. Misteri yang menyelubungi diriku perlahan mulai tersingkap kala siang itu Paman Wahab datang mengunjungiku. Rupanya Paman Wahab mendengar kabar tentang hubunganku dengan Hendro.
"Si Hendro itu picik sekali. Aku tahu dia sengaja memutuskan hubungannya denganmu setelah mendengar cerita tentang ayahmu," kata pamanku dengan nada emosi. "Ayahku, apa maksud paman?" tanyaku terkejut.
Paman Wahab tidak segera menjawab. Dia menatapku dengan iba. Lalu dengan lembut dia berkata; "Sebenarnya aku tak sampai hati menceritakan padamu. Selama ini kami memang sengaja merahasiakannya padamu. Karena kami anggap bahwa apa yang dialami oleh ayahmu adalah aib keluarga."
"Aib apa sih maksud paman?" aku semakin bingung dan penasaran. Kulihat Paman Wahab berusaha menekan perasaannya. Dia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya. "Baiklah, Tiara. Aku akan ceritakan apa yang selama ini kami rahasiakan. Sebenarnya ayahmu masih ada. Dia masih hidup.."
Aku merasa seperti disambar petir di siang hari mendengar ucapan paman Wahab itu. Karena selama ini kata ibuku bahwa Ayah sudah lama meninggal dunia. Ada apa sebenarnya? Mengapa Ibu tega mengatakan bahwa Ayah telah tiada?
"Jadi Ayah masih hidup?" tanyaku, tak percaya. Pamanku mengangguk. "Benar, Tiara! Ayahmu masih hidup. Karena dia pernah mengalami sakit hilang ingatan, Ibumu menolak dirinya," ujar Paman Wahab.
Lagi-lagi aku tak kuasa menahan diri. Aku nyaris jatuh lemas kalau saja Paman Wahab tidak segera menyangga tubuhku. Dia membingbingku untuk duduk di sofa. Lalu diberinya aku minum segelas air putih. "Tenanglah, Tiara! Kuatkanlah hatimu. Biar kuteruskan ceritaku," kata Paman Wahab.
Aku mengangguk dan berusaha membuat diriku agar tetap tegar. Setelah melihat keadaanku cukup tenang, Paman Wahab lalu melanjutkan ceritanya. "Bahtiar, ayahmu, jadi gila karena guna-guna oleh ibu tirinya. Sudah lama sekali ibu tirinya berniat menjodohkan Bahtiar dengan seorang gadis yang masih kerabatnya.
Ibu tirinya berharap akan mendapatkan harta warisan dari ayah si gadis yang memang kaya raya itu. Tetapi Ayahmu menolak. Dia malah diam-diam menikahi Ibumu. Akibatnya sudah bisa diduga, ibu tirinya itu merasa sakit hati dan menaruh dendam. Untuk membalas sakit hatinya, maka dia mencari dukun untuk mengguna-gunai Ayahmu.
Aku masih ingat ketika pada suatu hari ibu tiri Ayahmu itu mengundang Ayahmu ke rumahnya. Bahtiar tentu saja merasa senang, karena mengira kalau ibu tirinya itu sudah memaafkannya. Tanpa menaruh curiga, Ayahmu pun datang.
Namun Ayahmu tak menyangka kalau undangan itu ternyata tak lebih dari sebuah tipu daya belaka. Ayahmu tidak menyadari kalau air di dalam gelas yang disuguhkan oleh ibu tirinya itu telah dibubuhi ramuan dan jampi-jampi.
Memang mulanya tidak terjadi apa-apa atas diri Ayahmu. Namun selang sebulan kemudian terjadilah peristiwa mengenaskan itu. Ayahmu tiba-tiba bersikap aneh. Dia tidak mau mandi. Jika tubuhnya kena air walau sedikit, dia menggigil seperti orang yang kedinginan.
Karena tidak mandi tentu saja badannya jadi mengeluarkan bau yang cukup aneh. Baunya sangat menyengat. Yang lebih menyedihkan, selang beberapa hari kemudian Wyahmu sering berteriak memanggil nama gadis yang akan dijodohkan oleh ibu tirinya itu.
Saat itu kau masih bayi. Aku masih ingat tanpa sepengetahuan Ibumu, Bahtiar membawamu ke pinggir sungai kecil yang ada di belakang rumah. Dia berniat menghayutkan dirimu. Untung saja perbuatannya itu diketahui orang yang kebetulan lewat. Kalau tidak, entah apa yang terjadi.
Melihat keadaan Ayahmu, tentu saja kami sekeluarga menjadi cemas. Terlebih dengan Ibumu. Dia benar-benar terguncang melihat keadaan Ayahmu itu. Mulanya kami mengira Ayahmu menderita penyakit biasa. Kami segera membawanya ke seorang dokter umum. Tetapi orang sang dokter kami disarankan agar membawanya pada seorang psikiater.
Tetapi psikiater pun ternyata tidak sanggup menanganinya. Kemudian atas usul seorang tetangga, kami coba membawanya pada seorang tabib. Tetapi lagi-lagi usaha kami gagal. Menurut seorang tabib, Ayahmu bukan menderita penyakit biasa. Tapi sakitnya adalah akibat guna-guna.
Meskipun tabib itu tidak memastikan siapa pelakunya, tetapi aku merasa yakin kalau Ayahmu itu diguna-gunai ibu tirinya. Karena itu aku berniat membawanya ke orang pintar. Setelah meminta persetujuan Ibumu, akhirnya Ayahmu kubawa ke orang pintar di Desa Simpang Agung.
Ustadz Karim namanya. Dia terkejut menerima kedatangan kami, karena kami memang sudah saling kenal. Setelah mendeteksi penyakit Ayahmu, Ustadz Karim mengambil kesimpulan bahwa ayahmu terkena guna-guna yang dikirim melalui minuman yang berasal dari air Sendang Hurip, yang merupakan air larangan.
Seseorang telah memberikan air larangan itu dan diberi ramuan Ajian Perusak Sukma. Guna-guna ini sangat dahsyat sekali, karena cepat sekali menyatu dalam darah. Demikianlah, akhirnya Ayahmu dirawat oleh Ustadz Karim selama kurang lebih 6 bulan lamanya.
Alhamdulillah, akhirnya berkat pertolongan Ustadz Karim penyakit yang diderita Ayahmu dapat disembuhkan. Tetapi dia masih sering mengalami kesulitan untuk mengenal orang lain secara cepat. Dia masih sering seperti orang linglung. Karena itulah ketika dia akan kembali, Ibumu tidak mau menerimanya.
Meskipun kami sekeluarga sudah berusaha membujuknya tetapi Ibumu tetap menolak kehadiran Ayahmu. Dia khawatir kalau nanti penyakit Ayahmu akan kambu lagi." Demikianlah Paman Wahab mengakhiri ceritanya.
Singkat cerita, dengan di antar oleh Paman Wahab, aku bertemu dengan Ayahku. Ayah tinggal di sebuah gubuk sederhana. Dia hidup bersama seorang perempuan setengah baya, yang belakangan kuketahui adalah isterinya.
Mulanya sukar sekali kami berkomunikasi. Tetapi berkat bantuan Ustadz Karim dan paman Wahab, akhirnya Ayah dapat mengenalku dengan mau mengakuiku sebagai anaknya. Sungguh suatu pertemuan yang mengharukan. Di hadapan lelaki berusia 60 tahunan itu aku bersujud mencium tangannya, dengan beruraian air mata.
Singkat cerita, meskipun tidak berkumpul lagi, tetapi kami sudah saling memaafkan. Dan yang terpenting tali silaturahmi kami yang sempat terputus kini telah tersambung lagi.
Mungkin berkat doa tulus seorang Ayah, akhirnya Allah SWT berkenan memberikan aku jodoh. Kini aku hidup bahagia bersama suamiku tercinta dan seorang anakku yang lucu dan imut.
Sumber: Majalah Misteri
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Ayahku Gila Karena Guna-Guna"